Tuesday, November 26, 2013

Gerombolan Itu Bernama HMI Bolmong Raya

BBM yang disebar Senin, 25 November 2013, menggunakan beberapa frasa bombastis. Ditajuki ‘’Pernyataan Sikap oleh Ketua Umum HMI Lewat BB’’, bagian paling membetot perhatian adalah kalimat, ‘’... aksi kami dibubarkan oleh anjing-anjing penjaga pemerintah (Pol-PP) tanpa alasan yang mendasar.’’

Menegaskan keberatannya, pesan berantai atas nama Ketua Umum HMI Bolmong Raya itu menuliskan, ‘’Padahal aksi kami hanya aksi damai dalam rangka meminta komitmen pembangunan. Tapi kami diperlakukan secara represif. Diperlakukan seenaknya oleh pasukan-pasukan penjilat ini, malah salah satu dari kader HMI yang tangannya sudah cacat diseret oleh Pol-PP sampai tangannya patah lagi.’’

Demi menunjukkan keseriusan menyoal tindakan Satpol PP, BBM yang saya terima menyatakan pula, ‘’... kami juga telah melaporkan ke kepolisian atas tindakan represif ini serta akan melaporkannya ke Pengurus Besar HMI di Jakarta. Kami meminta dengan tegas kepada Walikota Kotamobagu agar meminta maaf  atas perbuatan yang telah dilakukan oleh Pol-PP dan mencopot Kepala Kesbangpol dan Kasat Pol-PP yang bertanggungjawab penuh atas tindakan represif ini.’’

Sebagai catatan, kesalahan-kesalahan penggunaan awalan di kalimat-kalimat yang saya kutip itu telah diperbaiki. Sungguh memalukan bila Ketua Umum HMI Bolmong Raya masih cemang-cemong dalam urusan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, apalagi genit-genit bicara konsep besar membangun KK.

Tapi apa juntrungan hingga HMI Bolmong Raya menggelar demonstrasi? Setelah menyimak beberapa berita terkait, antaranya di situs Lintasbmr.Com (http://lintasbmr.com/hmi-berdemo-tantang-walikota-teken-pakta-integritas-terkait-visi-misi/ dan http://lintasbmr.com/aksi-hmi-di-rudis-walikota-diwarnai-insiden/), saya mendapat gambaran musabab beraksinya organisasi mahasiswa ini. Rupanya urusannya sepele: Mereka menuntut Walikota-Wawali menanda-tangani pakta integritas berkaitan dengan visi-misi pembangunan KK sesuai janji-janji selama Pilwako beberapa bulan lampau.

Bingung kerap diekspresikan dengan menggaruk-ngaruk kepala. Itulah yang saya lakukan setelah memahami duduk-soal demontrasi yang digerakkan HMI Bolmong Raya itu. Dari berbagai aspek, kepantasan, serta praktek-praktek umum berdemokrasi dan menyuarakan pendapat, unjuk rasa HMI Bolmong Raya itu tampaknya lebih cocok digelar oleh kelompok liar tak berpendidikan. Orang Mongondow menyebut himpunan orang seperti itu sebagai ‘’gorombolan’’. Mereka yang hanya pantas dilibas ketimbang diterima di tengah masyarakat.

Pertama, Walikota-Wawali KK dipilih oleh mayoritas warga kota ini (lebih 50 persen pemilih pada Pilwako lalu) secara demokratis. Berapa banyak anggota HMI Bolmong Raya di KK, dibanding jumlah pemilih itu? Siapa pula yang mengamatkan mereka menjadi wakil seluruh masyarakat untuk menuntut Walikota-Wawali menanda-tangani pakta integritas? Apa isi pakta tersebut dan siapa yang menyiapkan?

Apa pula organisasi HMI ini? Apa urusannya dengan kewajiban, hak, dan keinginan warga KK diperhadapkan dengan Walikota, Wawali, dan seluruh perangkat birokrasi Pemkot yang mereka bawahi?

Orang per orang di KK tentu punya aspirasi, pendapat, tuntutan, bahkan keberatan terhadap Walikota-Wawalinya; sebagaimana saya yang lebih sering tidak sependapat dengan elit politik dan birokrasi bahkan di seantero Mongondow. Tetapi mengklaim bahwa aspirasi pribadi per pribadi atau sekelompok orang, dengan legitimasi yang patut dipertanyakan, sebagai keinginan umum, adalah tindakan yang sungguh keblinger.

Kedua, hak demokrasi dan menyuarakan pendapat secara bebas juga harus dengan menghormati pihak lain. Satu-satunya institusi yang wajib dan berhak mengontrol (secara formal dan langsung) Walikota, Wawali, dan jajarannya adalah DPR KK. HMI yang semestinya berpendidikan, memahami sistem, aturan, dan aspek-aspek terkait lainnya, tahu persis menuntut (apapun itu, termasuk demo) ke DPR adalah jalan yang paling masuk akal. Itu pun mereka hanya dapat meminta DPR memastikan Walikota-Wawali menegakkan visi-misi yang telah dijanjikan, yang sebelumnya disampaikan secara formal di hadapan lembaga yang terhormat ini.

Ketiga, unjuk rasa adalah salah satu ekspresi berdemokrasi, tetapi cara ini juga diikat aturan-aturan tertentu, setidaknya pemberitahuan pada aparat berwenang. Adakah HMI Bolmong Raya menaati aturan-aturan itu sebelum menggelar aksinya? Mudah-mudahan informasi yang saya terima keliru, tetapi faktanya unjuk rasa yang mereka gerakkan itu tergolong liar dan masuk kategori gangguan terhadap ketertiban, keamanan, dan kenyamanan umum. Untuk para pengganggu ini, secara sosial di Mongondow, semestinya boleh dicambuk dengan rotan dan bambu penghalau anjing.

Keempat, sejalan dengan taat aturan, demontrasi seharusnya adalah ekspresi demokrasi dan hak penyuarakan pendapat setelah upaya yang lebih soft gagal dilakukan. Adakah sebelum berunjuk rasa HMI Bolmong Raya terlebih dahulu mengikhtiarkan cara lain itu, misalnya dengan mengirim surat resmi, bertatap muka dengan Walikota dan Wawali, lalu menyampaikan aspirasi dan tuntutannya?

Demonstrasi sekadar karena ingin dan terujung berteriak-teriak seolah-olah merekalah yang terpenting di tengah masyarakat, lebih sering mengundang antipati ketimbang simpati dan empati. Kalau cuma tunjung jago gaya berandalan, HMI cemen dan amatir belaka. Baru berhadapan dengan Satpol PP sudah terkaing-kaing, bagaimana bila dengan Brimob atau satuan anti huru-hara?

Dan Kelima, baiklah, sekali pun liar dan menjadi gangguan (utamanya) kenyamanan publik, demo ke DPR dan Kantor Pemkot KK kita anggap saja sebagai bentuk penyaluran aspirasi. Tapi bagaimana dengan gerudukan ke Rumah Jabatan Walikota? Rumah jabatan adalah fasilitas negara untuk pejabat publik yang dilekati dua aspek fundamental: ruang publik sekaligus ruang private. Di Mongondow, melangkahi halaman rumah seseorang dengan menimbulkan ketidak-nyamanan (apalagi onar) secara kultural cukup jadi alasan bagi penguasa kediaman itu melakukan pembelaaan diri hingga tingkat ekstrim. Jangankan sekadar mematahkan tangan, dari sisi sosial-budaya, menebas leher orang yang menerobos pun dapat diterima sebagai keniscayaan.

Lima argumen itu membuktikan, dari berbagai aspek aksi unjuk rasa HMI Bolmong Raya ke Walikota-Wawali KK sama sekali tidak memiliki dasar dan pijakan yang dapat diterima kewarasan umum. Bukan hanya itu, dengan secara terbuka menyebarkan insinuasi  ‘’anjing-anjing’’ pada Satpol PP KK, organisasi ini, para pengurusnya, dan penanggungjawab demo yang digelar justru harus diseret ke depan hukum karena penistaan.

Lucunya, gatal di kepala saya kian menjadi karena para pendemo itu, selain menuntut permintaan maaf dari Walikota serta pencopotan Kepala Kesbangpol dan Kasatpol PP, juga mengancam akan mengadu ke Ketua Umum PB HMI. Sebagai warga KK, walau punya keberatan dan protes sendiri terhadap Walikota dan jajarannya, kali ini saya turut terpancing ancaman HMI Bolmong.

Tuan-tuan HMI Bolmong Raya, jangan hanya melapor pada Ketua Umum PB. Bagaimana kalau sekalian urusannya dibawa ke Kahmi Pusat, Komnas HAM, Mabes Polri, dan institusi negara lainnya? Jangan lupa pula hadirkan Ketua Umum PB HMI di hadapan kami, warga KK, supaya kepalanya mudah ditoyor karena organisasi yang dia pimpin belakangan ini ternyata cuma melahirkan kader-kader tak berotak.

Mulut besar dengan otak kosong biasanya cuma untuk kerbau atau sapi potong.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
BB: BlackBerry; BBM: BlackBerry Messenger; Brimob: Brigade Mobil; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; HAM: Hak Asasi Manusia; HMI: Himpunan Mahasiswa Islam; Kahmi: Korps Alumni HMI; Kasat: Kepala Satuan; Kesbangpol: Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat; KK: Kota Kotamobagu; Komnas: Komisi Nasional; Mabes: Markas Besar; PB: Pengurus Besar; Pemkot: Pemerintah Kota; Pilwako: Pemilihan Walikota-Wawali; Pol-PP: Polisi Pamong Praja; Polri: Polisi Republik Indonesia; Satpol: Satuan Polisi; dan Wawali: Wakil Walikota.